Indonesia berada di wilayah yang sangat rawan dengan gempa bumi. Secara geografis, Indonesia berada pada pertemuan lempeng Benua Asia, Australia, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Kondisi yang rawan gempa seharusnya membuat masyarakat di Indonesia beralih pada struktur bangunan yang tahan terhadap gempa. Apalagi untuk bangunan tinggi, tentu saja resiko gempa pada bangunan menjadi berkali lipat.
Dalam menghadapi gempa, selain menggunakan rangka kolom dan balok, struktur dinding geser juga dapat diandalkan terutama pada bangunan tinggi. Dinding geser merupakan dinding kokoh layaknya kartu yang dapat mengantisipasi beban lateral pada bangunan.
Menurut Taranath (1998), Suatu gedung dikatakan tinggi jika struktur dan desainnya dipengaruhi oleh beban lateral yang dapat menyebabkan goyangan pada bangunan. Goyangan merupakan besarnya perpindahan lateral pada bagian atas bangunan terhadap dasarnya.
Untuk bangunan tinggi, sistem struktural harus memperhatikan persyaratan kekuatan, kekakuan dan stabilitas. Persyaratan kekuatan menjadi faktor dominan untuk struktur bangunan rendah. Sementara untuk bangunan tinggi, persyaratan kekakuan dan stabilitas justru menjadi lebih penting dan lebih dominan pada desain bangunan.
Wang dan Salmon (1994) menyatakan bahwa perencanaan struktur dapat menggunakan metode kekuatan (strength design method), yang terlebih dahulu dinamakan ultimate strength method.
Beban kerja dinaikkan secukupnya dengan beberapa faktor reduksi untuk mendapatkan beban dengan keruntuhan yang dinyatakan f’c - nya telah “diambang pintu” atau dinamakan beban terfaktor.
Struktur atau unsurnya diproporsikan sedemikian sehingga mencapai kekuatannya pada saat bekerjanya beban terfaktor. Perhitungan kekuatan ini memperhitungkan sifat hubungan yang tidak linear antara tegangan dan regangan dari beton.
Walaupun dinding struktural atau dinding geser direncanakan memikul seluruh beban gempa, namun rangka balok dan kolom tetap harus diperhitungkan terhadap efek simpangan lateral dinding struktural oleh perkiraan beban gempa.
Hal ini mengingat rangka tersebut pada tiap lantai masih menyatu dengan dinding struktur melalui hubungan lantai ke lantai. Efek tersebut di atas dinamakan “syarat kompatibilitas deformasi” dan pada SNI – 03 – 2847 – 2002 dijelaskan pada Pasal 23.9.
Ditetapkan bahwa komponen struktur yang semula bukan merupakan sistem pemikul beban lateral harus sanggup tetap memikul beban gravitasi bila terkena deformasi lateral yang disebabkan oleh perkiraan beban gempa.
Hal ini telah ditentukan oleh SNI – 03 – 2847 – 2002 Pasal 23.9 yang menyatakan bahwa detail gempa khusus diperlukan untuk komponen dan komponen non-sistem pemikul beban lateral seperti yang disampaikan dalam R. Purwono,2005.
Dinding geser memiliki daya tahan terhadap beban lateral, namun hanya untuk satu arah sumbu saja. Sehingga dengan adanya bantuan rangka berupa kolom dan balok, maka kekuatan struktur akan menjadi lebih baik dalam menghadapi beban gempa.
Download Perencanaan Ulang Gedung Tahan Gempa dengan Struktur Dinding Geser
credit : sipilworld.com
Kondisi yang rawan gempa seharusnya membuat masyarakat di Indonesia beralih pada struktur bangunan yang tahan terhadap gempa. Apalagi untuk bangunan tinggi, tentu saja resiko gempa pada bangunan menjadi berkali lipat.
Dalam menghadapi gempa, selain menggunakan rangka kolom dan balok, struktur dinding geser juga dapat diandalkan terutama pada bangunan tinggi. Dinding geser merupakan dinding kokoh layaknya kartu yang dapat mengantisipasi beban lateral pada bangunan.
Perencanaan Bangunan Tinggi Tahan Gempa dengan Struktur Dinding Geser |
Menurut Taranath (1998), Suatu gedung dikatakan tinggi jika struktur dan desainnya dipengaruhi oleh beban lateral yang dapat menyebabkan goyangan pada bangunan. Goyangan merupakan besarnya perpindahan lateral pada bagian atas bangunan terhadap dasarnya.
Untuk bangunan tinggi, sistem struktural harus memperhatikan persyaratan kekuatan, kekakuan dan stabilitas. Persyaratan kekuatan menjadi faktor dominan untuk struktur bangunan rendah. Sementara untuk bangunan tinggi, persyaratan kekakuan dan stabilitas justru menjadi lebih penting dan lebih dominan pada desain bangunan.
Wang dan Salmon (1994) menyatakan bahwa perencanaan struktur dapat menggunakan metode kekuatan (strength design method), yang terlebih dahulu dinamakan ultimate strength method.
Beban kerja dinaikkan secukupnya dengan beberapa faktor reduksi untuk mendapatkan beban dengan keruntuhan yang dinyatakan f’c - nya telah “diambang pintu” atau dinamakan beban terfaktor.
Struktur atau unsurnya diproporsikan sedemikian sehingga mencapai kekuatannya pada saat bekerjanya beban terfaktor. Perhitungan kekuatan ini memperhitungkan sifat hubungan yang tidak linear antara tegangan dan regangan dari beton.
Walaupun dinding struktural atau dinding geser direncanakan memikul seluruh beban gempa, namun rangka balok dan kolom tetap harus diperhitungkan terhadap efek simpangan lateral dinding struktural oleh perkiraan beban gempa.
Hal ini mengingat rangka tersebut pada tiap lantai masih menyatu dengan dinding struktur melalui hubungan lantai ke lantai. Efek tersebut di atas dinamakan “syarat kompatibilitas deformasi” dan pada SNI – 03 – 2847 – 2002 dijelaskan pada Pasal 23.9.
Ditetapkan bahwa komponen struktur yang semula bukan merupakan sistem pemikul beban lateral harus sanggup tetap memikul beban gravitasi bila terkena deformasi lateral yang disebabkan oleh perkiraan beban gempa.
Hal ini telah ditentukan oleh SNI – 03 – 2847 – 2002 Pasal 23.9 yang menyatakan bahwa detail gempa khusus diperlukan untuk komponen dan komponen non-sistem pemikul beban lateral seperti yang disampaikan dalam R. Purwono,2005.
Dinding geser memiliki daya tahan terhadap beban lateral, namun hanya untuk satu arah sumbu saja. Sehingga dengan adanya bantuan rangka berupa kolom dan balok, maka kekuatan struktur akan menjadi lebih baik dalam menghadapi beban gempa.
Download Perencanaan Ulang Gedung Tahan Gempa dengan Struktur Dinding Geser
credit : sipilworld.com
Posting Komentar untuk "Perencanaan Bangunan Tinggi Tahan Gempa dengan Struktur Dinding Geser"